Blogger Widgets

Wednesday, December 3, 2014

Masalah Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Selatan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dari luasan total lahan gambut di dunia sebesar 423.825.000 ha, sebanyak 38.317.000 ha terdapat di wilayah tropika. Sekitar 50% dari luasan lahan gambut tropika tersebut terdapat di Indonesia yang tersebar di pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati urutan ke-4 dalam hal luas total lahan gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.
Diperkirakan sedikitnya 20% dari luasan lahan gambut di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan meliputi pertanian, kehutanan, dan penambangan (Rieley dkk, 1996). Karena wataknya yang sangat rapuh, luasan lahan gambut di Indonesia cenderung mengalami penurunan, diperkirakan yang masih tersisa tidak lebih dari 17 juta hektar (Kurnain, 2005). Bahkan dari data yang telah dipublikasikan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2002, luasan lahan gambut di Indonesia hanya tersisa 13,203 juta hektar dari 16,266 juta hektar tahun 1997. Dari itu semua dan dari banyak publikasi yang telah dirilis baik melalui pertemuan ilmiah maupun laporan ilmiah, satu hal yang sudah pasti adalah telah terjadi degradasi hutan dan lahan gambut di Indonesia. Degradasi ini terutama terkait dengan pengalihfungsian lahan gambut alamiah untuk pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya, penipisan lapisan gambut oleh kegiatan pengatusan (drainase), dan perusakan dan penipisan lapisan gambut oleh peristiwa kebakaran. Seperti kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah dan Seribu Hektar di Kalimantan Selatan, telah menimbulkan kerusakan lingkungan sangat hebat, termasuk peristiwa kebakaran lahan gambut di Kalimantan Selatan yang sampai sekarang belum teratasi.




1.2   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan masalah lingkungan?
2.      Bagaimana terjadinya masalah kebakaran lahan gambut?
3.      Bagaimana upaya untuk mengatasi kebakaran lahan gambut ?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup dan untuk mengetahui penjelasan dari berbagai pokok pembahasan sebagai berikut :
1.      Pengertin masalah lingkungan hidup.
2.      Masalah kebakaran lahan gambut
3.      Upaya untuk mengatasi kebakaran lahan gambut

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Masalah Lingkungan Hidup
2.1.1 Pengertian Lingkungan Hidup
Masalah  Iingkungan  sudah  ada  sejak  dahulu  kala,  tetapi  dampaknya  yang  lebih luas  mulai  dirasakan  pada  dasawarsa  1950-an,  akibat dari  berkembangnya  teknologi. Menurut Soeriaatmadja (1990), suatu penemuan yang sangat besar dampaknya terhadap alam pikiran manusia pada abad ke 20 ini ialah ketika manusia berhasil pertama kalinya mengarungi  angkasa  kuar  dengan  pesawat  luar  angkasa.  Dari  jendela  pesawat  para astronot  dapat  melihat  planet  bumi  kita  yang  dihuni oleh  bermacam-macam  makhluk hidup.  Pandangan  lama  menganggap  bahwa  manusia  hidup  di  tengah-tengah  berbagai benua yang terhampar luas tanpa batas dan dipisahkan oleh samudra yang batasnya tak jelas.  Sehingga  dengan  berhasilnya  manusia  mengarungi  angkasa  luar,  manusia  juga dapat mengamati kerusakan planet bumi dari atas bumi.
Kerusakan lingkungan juga mengakibatkan kerusakan kehidupan, contohnya smog, asap  menyerupai  kabut  yang  berasal  dari  buangan  mobil  dan  pabrik  yang  kemudian bereaksi  dengan  matahari,  akan  menganggu  kesehatan  (sistem  pernafasan).  Juga pengaruh logam berat air raksa (Hg) yang menyebabkan penyakit Minamata serta Iimbah logam kadmium (Cd) yang menyebabkan penyakit Itai-itai, keduanya di Jepang. Contoh di atas  telah  menarik  perhatian  serius  beberapa  negara sejak  mulai  1970-an.  Tepatnya setelah diselenggarakan konferensi PBB tentang Iingkungan hidup di Stockholm 5-11 Juni 1972.  Sehingga  tanggal  5  Juni  selain  dijadikan  Hari Lingkungan  Hidup  Sedunia  (The Environment  Day),  didirikan  pula  badan  PBB  yang  mengurus masalah  lingkungan  yaltu United Nation Environmental Programme(UNEP). Perlu diketahui bahwa pada konferensi tersebut  ikut  serta  perwakilan  Indonesia,  yang  sebelumnya  telah  mengadakan  seminar tentang  lingkungan  hidup  untuk  pertama  kalinya  di  Indonesia  15-18  Mei  1972 (Soemarwoto, 1997). 
Beberapa hal pokok yang menyebabkan timbulnya masalah lingkungan antara lain adalah  tingginya  tingkat  pertumbuhan  penduduk,  meningkatnya  kualitas  dan  kuantitas limbah, adanya pencemaran lintas batas Negara
2.1.2 Masalah Lingkungan Secara Nasional
Masalah  lingkungan  secara  nasional  tidak  jauh  berbeda  dengan   masalah lingkungan  secara  global.  Bedanya  terletak  pada  corak,  bobot  besaran  masalahnya. Masalah lingkungan secara nasional mempunyai persamaan yang jelas bila dibandingkan dengan masalah lingkungan di negara-negara berkembang dalam lingkup nasional. Keadaan dan masalah lingkungan pada tingkat nasional didahului oleh uraian mengenai keadaan  dan  masalah  kependudukan  yang  secara  global merupakan  penyebab  utama dan  munculnya  masalah  lingkungan  tersebut.  Masalah  kependudukan  di  Indonesia ditandai  oleh  laju  pertumbuhan  penduduk  relatif  masih  tinggi,  penyebaran  penduduk belum berimbang, dan mutu kehidupan penduduk secaraumum masih perlu ditingkatkan. Hal demikian dibarengi oleh berbagai pola dan langkah pembangunan yang cenderung:
a.       Merusak/mengganggu sistem pendukung kehidupan manusia
b.      Menciptakan ancaman dan bahaya buatan manusia dalam bentuk berbagai sumber bencana
c.       Berlanjutnya dampak dan resiko lingkungan ini pada generasi masa datang
d.      Makin  lemahnya  struktur  dan  fungsi  organisasi  sosial  masyarakat  dalam berperan  serta  dalam  mendukung  kegiatan  pembangunan maupun mengelola lingkungan
Salah satu masalah lingkungan nasional (lokal) yang ditimbulkan juga menimbulkan kerusakan pada alam, yaitu kebakaran lahan gambut di Kalimantan Selatan.

2.2. Masalah Kebakaran Lahan Gambut
2.2.1 Penyebab kebakaran
Kebakaran hutan dan lahan gambut selama musim kering dapat disebabkan atau dipicu oleh kejadian alamiah dan kegiatan atau kecerobohan manusia. Kejadian alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara serta-merta (spontan) akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH ) telah diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et al., 2002). Meskipun demikian, pemicu utama terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan atau kecerobohan manusia, yang 90–95% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini. Faktor manusia yang dapat memicu terjadinya kebakaran meliputi pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berskala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan-kegiatan rekreasi seperti perkemahan, piknik dan perburuan. Menurut pengalaman di Malaysia (Abdullah et al., 2002; Musa & Parlan, 2002) dan di Sumatra (Sanders, 2005), kegiatan pembukaan dan persiapan lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.  Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan cara membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang berkesuburan rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah dengan meningkatkan kandungan unsur hara dan mengurangi kemasaman (Diemont et al., 2002).
Hanya saja jika tidak terkendali, kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran. Dalam skala besar, ancaman kebakaran terutama terjadi dalam kawasan hutan dan lahan gambut yang telah direklamasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 menunjukkan bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah diliputi oleh titik titik panas (hot spots), yang sebarannya semakin banyak ke arah saluran pengatusan (drainase) yang telah dibangun (Jaya et al., 2000; Page et al., 2000). Ancaman itu memang akhirnya terjadi bahwa sekitar 500.000 ha kawasan PPLG di Kalimantan Tengah telah terbakar selama kebakaran tahun 1997 (Page et al., 2000; Siegert et al., 2002).
2.2.2 Sifat Kebakaran
Sifat kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut berbeda dengan yang terjadi di kawasan hutan dan lahan tanah mineral (bukan gambut). Di kawasan bergambut, kebakaran tidak hanya menghanguskan tanaman dan vegetasi hutan serta lantai hutan (forest floor) termasuk lapisan serasah, dedaunan dan bekas kayu yang gugur, tetapi juga membakar lapisan gambut baik di permukaan maupun di bawah permukaan. Berdasarkan pengamatan lapangan (Usup et al., 2003) ada dua tipe kebakaran lapisan gambut, yaitu tipe lapisan permukaan dan tipe bawah permukaan. Tipe yang pertama dapat menghanguskan lapisan gambut hingga 10–15 cm, yang biasanya terjadi pada gambut dangkal atau pada hutan dan lahan berketinggian muka air tanah tidak lebih dari 30 cm dari permukaan. Pada tipe yang pertama ini, ujung api bergerak secara zigzag dan cepat, dengan panjang proyeksi sekitar 10–50 cm dan kecepatan menyebar rata-rata 3,83 -1 -1cm jam (atau 92 cm hari ).
Tipe yang kedua adalah terbakarnya gambut di kedalaman 30–50 cm di bawah permukaan. Ujung api bergerak dan menyebar ke arah kubah gambut (peat dome) dan -1 -1(atau 29 cm hari ). Perakaran pohon dengan kecepatan rata-rata 1,29 cm jam Kebakaran tipe kedua ini paling berbahaya karena menimbulkan kabut asap gelap dan pekat, dan melepaskan gas pencemar lainnya ke atmosfer. Di samping itu, kebakaran tipe ke-2 ini sangat sulit untuk dipadamkan, bahkan oleh hujan lebat sekalipun. Dari uraian di atas jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut dapat meninmbulkan dampak/akibat buruk yang lebih besar dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di kawasan tidak bergambut (tanah mineral). Selain itu, cara penanganannya pun berbeda, karena karakteristik kebakaran di kawasan bergambut yang khas daripada di kawasan tidak bergambut.
2.2.3 Akibat Kebakaran
Kebakaran hutan dan lahan gambut dapat berakibat langsung dan tidak langsung atas lingkungan di dalam tapak kejadian (on site effect) atau di luar tapak kejadian (off site effect). Akibat kebakaran hutan dan lahan gambut antara lain adalah kehilangan lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan, gangguan atas dinamika flora dan fauna, gangguan atas kualitas udara dan kesehatan manusia, kehilangan potensi ekonomi, dan gangguan atas sistem transportasi dan komunikasi. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997 telah menghilangkan lapisan gambut 35–70 cm (Jaya et al., 2000). Kehilangan lapisan gambut ini berakibat atas kestabilan lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara dengan pelepasan karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt C. Pelepasan C ini berdampak luar biasa atas emisi gas karbondioksida (CO) ke atmosfer, yang turut berperan dalam pemanasan global (Siegert et al., 2002). Selain itu, kebakaran tahun 1997 telah merusak vegetasi hutan sehingga kerapatan pohon berkurang hingga 75% (D’Arcy & Page, 2002).
Dampak utama kebakaran hutan dan lahan gambut adalah asap yang mempengaruhi jarak pandang dan kualitas udara. Asap bertahan cukup lama di lapisan atmosfer permukaan, akibat rendahnya kecepatan angin permukaan. Lapisan asap ini berdampak serius pada sistem transportasi udara, dan pada kesehatan manusia serta flora dan fauna. Pada kebakaran tahun 1997 berkurangnya jarak pandang di beberapa kota di Kalimantan dan Sumatra antara bulan Mei dan Oktober telah mengakibatkan penundaan jam terbang dan bahkan penutupan beberapa bandar udara. Di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatra, terutama di daerah-daerah yang banyak dijumpai kebakaran hutan dan lahan gambut, asap yang dihasilkan telah mengakibatkan gangguan kesehatan terutama masyarakat miskin, lanjut usia, ibu hamil dan anak balita. Jumlah kasus selama bulan September–November 1997 di delapan propinsi di Kalimantan dan Sumatra tercatat 527 kematian, 298.125 asma, 58.095 bronkitis, dan 1.446.120 ISPA (infeksi saluran pernafasan akut), termasuk di Kalimantan Selatan yang dijumpai 69 kasus kematian, 41.800 asma, 8.145 bronkitis, dan 202.761 kasus ISPA.
Kebakaran hutan dan lahan gambut juga berdampak atas hilangnya beberapa potensi ekonomi terutama di sektor kehutanan dan pertanian. Kerugian ekonomi pada sektor kehutanan akibat kebakaran tahun 1997 mencapai Rp 2,4 trilyun untuk delapan propinsi kawasan bergambut di Kalimantan dan Sumatra. Sedangkan di sektor pertanian kerugiannya mencapai Rp 718 milyar. Akibat tidak langsung dari kebakaran lahan gambut merupakan akibat lanjutan (post-effect) yang dihasilkan ketika proses pemulihan hutan dan lahan gambut baik secara alamiah maupun buatan manusia belum mencapai titik pulih. Akibat ini bisa terjadi selama bertahun-tahun tergantung kemampuan untuk memulihkan. Akibat utamanya adalah terganggunya fungsi hidrologis dan pengaturan iklim. Hilangnya vegetasi dan terbukanya hutan dan lahan gambut menyebabkan debit aliran permukaan dan erosi akan meningkat dalam musim hujan sehingga dapat menyebabkan banjir. Selain itu, hilangnya sehingga meningkatkan efek rumah kaca dan vegetasi akan mengurangi penyerapan CO2 hutan juga kehilangan fungsi pengaturan iklimnya.

2.3 Upaya Untuk Mengatasi Kebakaran Lahan Gambut
2.3.1 Strategi Pengelolaan
Pengelolaan atas kebakaran hutan lahan gambut meliputi upaya pencegahan dan pengendalian. Kedua upaya itu harus dilakukan secara sistematis, serba-cakup (comprehensive), dan terpadu, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder).
2.3.2  Pencegahan Kebakaran
Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya api di antaranya:
1.      Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya masing-masing, dengan mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis di samping secara ekonomis.
2.      Pengembangan sistem budidaya pertanian dan perkebunan, serta sistem produksi kayu yang tidak rentan terhadap kebakaran, seperti pembukaan dan persiapan lahan tanpa bakar (zero burning-based land clearing), atau dengan pembakaran yang terkendali (controlled burning-based land clearing).
3.      Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara jelas dan tepat sasaran. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan lahan yang tidak tepat sesuai dengen peruntukan dan fungsinya.
4.      Pencegahan perubahan ekologi secara besar-besaran diantaranya dengan membuat dan mengembangkan pedoman pemanfaatan hutan dan lahan gambut secara bijaksana (wise use of peatland), dan memulihkan hutan dan lahan gambut yang telah rusak.
5.      Pengembangan program penyadaran masyarakat terutama yang terkait dengan tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program ini diharapkan dapat mendorong dikembangkannya strategi pencegahan dan pengendalian kebakaran berbasis masyarakat (community-based fire management).
6.      Pengembangan sistem penegakan hukum. Hal ini mencakup penyelidikan terhadap penyebab kebakaran serta mengajukan pihak-pihak yang diduga menyebabkan kebakaran ke pengadilan.
7.      Pengembangan sistem informasi kebakaran yang berorientasi kepada penyelesaian masalah. Hal ini mencakup pengembangan sistem pemeringkatan bahaya kebakaran (Fire Danger Rating System) dengan memadukan data iklim (curah hujan dan kelembaban udara), data hidrologis (kedalaman muka ir tanah dan kadar lengas tanah), dan data bahan yang dapat memicu timbulnya api. Kegiatan ini akan memberikan gambaran secara kartografik terhadap kerawanan kebakaran.
Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran yang berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko kebakaran yang berkaitan dengan sebab musabab terjadinya kebakaran, dan peta sejarah kebakaran yang penting untuk evaluasi penanggulangan kebakaran.
2.3.3 Pengendalian Kebakaran
Kegiatan pengendalian kebakaran meliputi kegiatan mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman api. Kegiatan mitigasi bertujuan untuk mengurangi dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan sektor transportasi yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan antara lain: (1) menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan kebakaran, (2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di daerah rawan kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang bahaya kebakaran dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan kebakaran, dan (5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran beserta dampaknya. Kesiagaan dalam pengendalian kebakaran bertujuan agar perangkat penanggulangan kebakaran dan dampaknya berada dalam keadaan siap digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini adalah membangun partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran, dan ketaatan para pengusaha terhadap ketentuan penanggulangan kebakaran. Tahapan ketiga adalah kegiatan pemadaman api. Pada tahap ini usaha lokal untuk memadamkan api menjadi sangat penting karena upaya di tingkat lebih tinggi memerlukan persiapan lebih lama sehingga dikhawatirkan api sudah menyebar lebih luas. Pemadaman api di kawasan bergambut jauh lebih sulit daripada di kawasan yang tidak bergambut. 
Hal ini terkait dengan kecepatan penyebaran api yang sangat cepat dan tipe api di bawah permukaan. Strategi pemadaman api secara konvensional seperti pada kawasan hutan dan lahan tidak bergambut harus dikombinasikan dengan cara-cara khas untuk kawasan bergambut, terutama untuk memadamkan api di bawah permukaan. Pemadaman api di bawah permukaan dengan menyemprotkan air ke atas permukaan lahan tidaklah efektif, karena tanah gambut mempunyai daya hantar air cacak (vertikal) yang sangat randah, tetapi daya hantar air menyamping (lateral)-nya tinggi. Oleh karenanya pemadaman api bertipe ini hanya dapat dilakukan dengan membuat parit yang diairi, seperti sekat bakar diairi (KATIR) yang telah dikembangkan oleh Tim Serbu Api Universitas Palangkaraya. Cara lainnya adalah penyemprotan air melalui lubang yang telah digali hingga batas api di bawah permukaan, seperti yang dilakukan di Malaysia (Musa & Parlan, 2002).


BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Berdasarkan perspektif Kalimantan Selatan, atas persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut meliputi tiga hal pokok sebagai berikut:
1.      Berdasarkan hasil sigi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat yang dipublikasikan pada tahun 2002 luas lahan gambut di Kalimantan Selatan tersisa sekitar 139.000 ha, yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tiga propinsi lainnya di Kalimantan. Oleh karenanya tindakan pencegahan atas kebakaran lahan gambut harus lebih diperioritaskan agar keberadaan lahan gambut di Kalimantan Selatan tetap terjaga.
2.      Ironisnya keberadaan lahan gambut di Kalimantan Selatan cenderung terganggu oleh adanya kegiatan lainnya seperti pembangunan infrastruktur jalan dan bangunan lainnya yang marak terjadi akhir-akhir ini. Oleh karenanya diperlukan pemberdayaan penatagunaan lahan dan kepemilikan lahan agar keberadaan dan fungsi hidrologis lahan gambut di Kalimantan Selatan tetap terjaga. Jika tidak dilakukan, bahaya banjir pada musim hujan bukan tidak mungkin akan terjadi.
3.      Meskipun intensitas dan kapasitas kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Selatan tidak sebanyak yang terjadi di tiga propinsi lainnya di Kalimantan, kabut asap yang melintasi batas propinsi sering menyelimuti udara Kalimantan Selatan. Oleh karenanya tindakan mitigasi perlu dilakukan untuk mengurangi dampak kebakaran terhadap kesehatan dan sektor transportasi.

3.2  Saran
1.      Agar mahasiswa meningkatkan pengetahuannya mengenai permasalahan lingkungan dan cara mengatasinya
2.      Agar mahasiswa meningkatkn kreativitas berfikirnya dalam mengatasi masalah lingkungan
3.      Agar pembaca serta kaum intelektuan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyelesaian masalah lingkungan terutama terkait kebakaran hutn dan lahan gambut di Kalimantan selatan

Daftar Pustaka
Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, & A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of     
        forest fire in Peninsular. Malaysia: History, root causes, prevention, and   
       control.
Buku Ajar. 2010. Pendidikan Lingkungan Hidup. Universitas Negeri Semarang

Newer Post Home

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih Sudah Berkomentar Menggunakan Bahasa yang Halus